Rabu, 14 Januari 2009

COOPERATIF LEARNING: SUATU PENDEKATAN PEMBELAJARAN DALAM MENGHADAPI TRANSFORMASI SOSIAL



A. DASAR PEMIKIRAN

Globalisasi telah membawa perubahan yang sangat mendasar di dalam kehidupan manusia abab ke-21. Globalisasi menuntut adanya perubahan di dalam pribadi manusia itu sendiri bagaimana dia memandang dunia ini, kehidupan yang berubah. Globalisasi meminta organisasi, lembaga-lembaga masyarakat, organisasi masyarakat termasuk negara meninjau kembali paradigma-paradigmanya. Demikian pula globalisasi telah memacu ilmu pengetahuan dan teknologi secara timbal balik. Semua ini berarti ilmu pengetahuan termasuk ilmu pendidikan atau pedagogik perlu meninjau kembali paradigma-paradigma yang mendasarinya ( Tilaar, 2008:275)
Pedagogik sebagai suatu bidang ilmu pendidikan tentunya tidak dapat menutup mata terhadap perubahan global yang terjadi. Oleh karena pendidikan merupakan aspek kebudayaan dan kebudayaan mengalami perubahan di era globalisasi maka proses pendidikan juga tidak luput dari perubahan. Bahkan pendidikan yang berkenaan dengan pembinaan pribadi manusia itu seharusnya berfungsi sebagai agen perubahan.
Kita perlu menelaah kembali praktik-praktik pembelajaran di sekolah. Peranan yang harus dimainkan oleh dunia pendidikan dalam mempersiapkan anak didik untuk berpartisipasi secara utuh dalam kehidupan bermasyarakat di abad 21 akan sangat berbeda dengan peranan tradisional yang selama ini dipegang erat oleh pemangku kepentingan (stakeholder) pendidikan, khususnya guru di negeri ini.
Ada persepsi umum yang sudah berakar dalam dunia pendidikan dan juga sudah menjadi harapan masyarakat. Persepsi umum ini menganggap bahwa sudah merupakan tugas guru untuk mengajar dan menyodori siswa dengan muatan-muatan informasi dan pengetahuan. Guru perlu bersikap atau setidaknya dipandang siswa sebagai yang mahatahu dan sumber informasi. Lebih celaka lagi, siswa belajar dalam situasi yang terbebani dan menakutkan karena dibayangi oleh tuntutan-tuntutan mengejar nilai-nilai tes dan ujian yang tinggi.
Dalam mengahadapi perubahan kehidupan perlu ada perubahan paradigma dalam menelaah proses belajar siswa dan interaksi antara siswa dan guru. Sudah seyogianyalah kegiatan belajar mengajar juga lebih mempertimbangkan siswa. Siswa bukanlah sebuah botol kosong yang bisa diisi dengan muatan-muatan informasi apa saja yang dianggap perlu oleh guru. Selain itu, arus proses belajar tidak harus berasal dari guru menuju siswa. Siswa juga bisa saling mengajar dengan sesama siswa yang lainnya. Bahkan banyak penelitian menunjukkan bahwa pengajaran oleh rekan sebaya (peer teaching) ternyata lebih efektif daripada pengajaran oleh guru. Sistem pengajaran yang memberi kesempatan kepada anak didik untuk bekerja sama dengan sesama siswa dalam tugas-tugas terstruktur disebut sebagai sistem ”pembelajaran gotong royong” atau cooperativ learning. Dalam sistem ini guru bertindak sebagai fasilitator ( Lie, 2008:11-12)
Lie (2008:12) juga menjelaskan bahwa ada beberapa alasan penting mengapa sistem pembelajaran cooperatif learning perlu sering digunakan di sekolah-sekolah. Seiring dengan proses globalisasi, juga terjadi transformasi sosial, ekonomi, dan demografi yang mengharuskan sekolah lebih menyiapkan anak didik dengan keterampilan-keterampilan baru untuk bisa berpartisipasi dalam dunia yang berubah dan berkembang pesat.
Karena pengaruh modernisasi, struktur keluarga banyak berubah dalam dekade akhir-akhir ini. Semakin banyak anak yang dibesarkan dalam keluarga tanpa kehadiran penuh kedua orang tua. Tingkat mobilitas dan isolasi keluarga makin meningkat dengan semakin bertambahnya kaum ibu yang berkarier. Anak lebih banyak menghabiskan waktu di depan televisi. Pada saat mata terpaku pada layar tv, hilanglah kesempatan untuk mengembangkan interaksi sosial dan keterampilan berkomunikasi. Di tengah-tengah transformasi sosial, sekolah seharusnya merasa terpanggil untuk memperhatikan juga perkembangan moral dan sosial anak didik di samping perekembangan kognitifnya. Siswa diberi kesempatan untuk berinteraksi dan bekerja sama dengan sesama.
Pada kebanyakan pekerjaan, kepandaian atau kemampuan individu bukanlah yang terpenting. Kemampuan untuk bekerja sama dalam tim lebih dibutuhkan untuk mencapai tujuan dan keberhasilan suatu usaha. Sebagai pendidik yang bertanggung jawab, guru perlu memperhatikan nilai-nilai sosial yang harus dimiliki siswa tidak sekadar nilai-nilai tes dan ujian saja. Guru harus merasa terpanggil untuk mempersiapkan anak didiknya agar bisa berkomunikasi dan bekerja sama dengan orang lain dalam berbagai situasi sosial.
Sebagai bagian masyarakat, sekolah juga merupakan tempat pertemuan anak dari berbagai suku dan ras. Tanpa penanganan yang bijaksana, siswa-siswa bisa terjatuh dalam ketegangan antarsuku dan sikap-sikap rasialis. Jika siswa tidak diajari untuk berinteraksi dengan teman sekelas dalam suasana yang cooperatif kemungkinan besar siswa tersebut akan gagal untuk memandang siswa yang berbeda ras/suku sebagai seorang individu dengan segala nuansa kemanusiaanya. Yang dia lihat tidak akan lebih dari stereotip-stereotip yang sangat mungkin menjurus pada sikap-sikap prejudice dan rasialis (Lie, 2008:14).
Seperti kata pakar pendidikan, John Dewey, sekolah adalah miniatur masyarakat, sudah selayaknyalah anak didik belajar mengenai tata cara bermasyarakat dalam konteks-konteks yang sesungguhnya semasa di sekolah. Metode pembelajaran cooperatif learning telah dibuktikan sangat efektif dalam meningkatkan hubungan antarras di Amerika. Sebelum pendekatan ini dipakai, ada jarak yang dalam antara siswa-siswa Amerika keturunan Anglo dengan siswa-siswa keturunan Afrika dan Hispanik. Walaupun sering kali tidak kentara, sikap saling mencurigai dan membenci merupakan sikap yang umum di antara masyarakat Amerika Serikat. Beberapa tahun setelah metode pembelajaran cooperatif learning dipakai di beberapa sekolah, siswa-siswa yang berlainan ras mulai lebih bisa saling mengerti dan menerima(Lie, 2008:15)
Kita sedang mengalami krisis dalam dunia pendidikan. Transformasi yang cepat dan dasyat merupakan tantangan yang harus dijawab oleh dunia pendidikan. Jika kita tidak mengubah praktik-praktik pembelajaran dan pendidikan yang sudah usang, kita akan bergerak menuju keruntuhan, bukan saja di dunia pendidikan, melainkan juga dalam kehidupan bermasyarakat. Jika kita tidak mengubah kebiasaan-kebiasaan kontra-edukatif, kita malah akan menjerumuskan anak didik dalam ketidakberdayaan menghadapi tantangan-tantangan kehidupan. Seiring dengan fungsi tradisional sekolah untuk membekali anak didik dengan keterampilan-keterampilan dasar dan muatan-muatan informasi, sekolah juga harus membina anak didik agar mempunyai kemampuan untuk berpikir kritis dan kreatif, berkomunikasi, dan berkehidupan sosial.

B. DAFTAR BACAAN


Budiningsih, Asri. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.

Ismail. 2003. Model-Model Pembelajaran. Jakarta: Direktorat PLP Depdiknas.

Ibrahim, Muslimin, dkk. 2000. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya: University Press Unesa.

Lie, Anita. 2008. Cooperative Learning : Mempraktikkan Cooperative Learning di Ruang-ruang Kelas. Jakarta: PT Gramedia Widisarana Indonesia.

Suyatno. 2004. Teknik Pembelajaran Bahasa dan Sastra . Penerbit SIC

Tilaar, H.A.R. 2005. Manifesto Pendidikan Nasional. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Zamzani dan Musfiroh, Tadkiroatun. 2008. Pedagogik Transformatif. Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Yogyakarta.

1 komentar: