Minggu, 01 Desember 2013

ANALISIS NOVEL




KEMBALINYA HARKAT KEMANUSIAAN
YANG TELAH HILANG
(ANALISIS NOVEL KUBAH KARYA AHMAD TOHARI)




              Novel setebal 189 halaman ini  menceritakan perjalanan hidup seorang tokoh, Karman, yang pada masa mudanya tergolong pemuda yang patuh, sopan, ulet,  dan rajin ke masjid. Namun, karena tidak bisa menikahi anak Haji Bakir, Rifah, Karman berubah sikap. Karman membenci Haji Bakir dan tidak rajin ke masjid lagi. Kekecewaan Karman dimanfaatkan oleh tokoh komunis Margo dan Triman untuk memasukan idiologinya dalam diri Karman. Karman terjerumus masuk dalam ideologi komunis dan akhirnya di tangkap dan ditahan di Pulau B (Buru) dengan meninggalkan seorang isteri dan tiga anak. Setelah masa tahanan di pengasingan habis, Karman pulang ke desanya dan masyarakat menerimanya kembali dengan iklas.
              Melalui novel Kubah, Ahmad Tohari ingin menyampaikan pesan kepada pembaca bahwa pada dasarnya semua orang pasti tidak ingin berbuat  salah, dan apabila punya kesalahan pasti ingin memperbaiki kesalahannya dan ingin kesalahannya dimaafkan. Ahmad Tohari juga berpesan bahwa seharusnya masyarakat iklas menjadi pemaaf dan bersikap arif terhadap ‘orang-orang  buangan’ seperti tokoh Karman yang diceritakan dalam novel ini.
              Cerita dalam novel ini diawali dengan gambaran keraguan tokoh Karman ketika mau pulang untuk menimati kebebasannya setelah  sekian lama berada dalam pengasingan di Pulau B. Dia ragu untuk pulang karena khawatir akan dicibir dan dibenci orang-orang sedesanya.

                        Setelah berhasil mengedepankan gejolak perasaannya, Karman sadar  bahwa dirinya sedang berada dalam perjalanan pulang yang  panjang dari Pulau B. Pulang? Tanya Karman berkali-kali kepada dirinya sendiri. Pulang ke mana? Aku memang lahir di sana, di Pagetan. Di sana aku dibesarkan dan di sana aku pernah punya rumah, istri dan anak. Namun masih adakah semua itu? Dan, apakah kampungku, terutama orang-orang, mau menerima aku kembali? Sebuah letupan kekuatan tiba-tiba mengoyahkan hatinya (Kubah, 1995 : 30).

             Keraguan dan kekhawatiran Karman dapat dimengerti, karena Karman sadar akan statusnya sebagi bekas tahanan politik yang baru saja dibebaskan dari Pulau B . Semua orang tahu bahwa Pulau B (baca Buru) adalah tempat pengasingan para tahanan politik (orang-orang PKI) kelas berat , sehingga wajar kalau Karman punya kekhawatiran dirinya tidak akan diterima oleh orang-orang di desanya. Di tambah lagi istrinya yang sangat dicintainya sudah tidak bisa hidup bersama lagi karena sudah jadi istri orang. Karman teringat kembali kenangan ketika dia harus merelakan istrinya, Marni, untuk menikah dengan Parta, lelaki teman sekampung, sedangkan waktu itu dia sendiri masih berada di pengasingan.
            Meskipun diberi hak untuk kembali ke tengah pergaulan masyarakat, Karman sulit menghapus kekhawatirannya akan ditolak, dibenci, dan dikucilkan oleh masyarakat yang dahulu pernah dirongrong olehnya. Akan tetapi, tidak ada pilihan lain kecuali harus pulang ke desanya. Kemudian Karman berniat untuk pulang ke rumah saudara sepupunya, Gono, yang rumahnya tidak jauh dari kota. Pada awalnya Karman masih ragu-ragu apakah jadi ke rumah Gono atau tidak. Tanpa diduga sebelumnya, di rumah Gono Karman bisa bertemu dengan anaknya, Rudio. Dan yang melegakannya lagi, sambutan Bu Gono yang tulus merupakan pertanda awal bahwa masyarakat akan menerima kembali orang-orang bekas PKI.


                        “Ya Tuhan.... Mas Karman?! Kau masih hidup, Mas Karman?”
                        Karman merasa sulit berbicara, tidak segera menjawab.
           “Ya, Dik. Syukurlah. Kita masih bisa bertemu lagi. Sekarang   tenanglah. Mari kita duduk dulu.”
            Tetapi Bu Gono belum bisa tenang dan belum mau duduk. Dipeluknya Karman erat-erat. Di sela-sela tangisnya, ia masih berkata-kata penuh emosi.
           “Mas Karman, saudaraku, tinggallah bersama kami di sini. Kau takkan menemukan apa-apa lagi di Pagetan......(Kubah, 1995 : 34).


            Apa yang dialami Karman di rumah Gono membuat dirinya memberanikan pulang ke desa Pagetan ke rumah orang tuanya sendiri, Bu Mantri. Wajarlah kalau Karman masih dihinggapi keraguan, kekhawatiran, ketakutan, dan keterasingan yang mencekam untuk kembali ke desanya. Akan tetapi, keraguan itu ternyata tidak terbukti karena hampir semua orang Pagetan menerimanya dengan baik, bahkan Haji Bakir bersama isterinya datang  menyambut kepulangannya di rumah Bu Mantri.

            Di rumah orangtuanya, Karman sedang dirubung oleh para tamu, tetangga-tetangganya yang sudah amat lama ditinggalkan. Ia merasa heran dan terharu, ternyata orang-orang Pagetan tetap pada watak mereka yang asli. Ramah, bersaudara, dan yang penting: gampang melupakan kesalahan orang lain. Padahal yang sangat dikhawatirkan oleh Karman adalah sikap membenci dan dendam yang mungkin diterimanya begitu ia muncul kembali di Pagetan. Haji Bakir datang berdua dengan isterinya meskipun ia harus dibantu dengan tongkat yang menopang tubuhnya yang sudah bungkuk. Apabila Karman menyambut tamu-tamu yang lain secara wajar, tidak demikian halnya ketika menerima kedatangan haji yang sudah sangat tua itu.
           Begitu Haji Bakir masuk ke rumah Bu Mantri itu, Karman berlari menjemputnya, lalu menjatuhkan diri. Dengan bertumpu pada kedua lututnya, Karman memeluk orang tua itu pada pinggangnya. Ia menangis seperti anak kecil. Haji Bakir yang meras tidak bisa berbuat apa-apa membiarkan Karman memuaskan tangisnya (Kubah, 1995 : 173-174).

              Cuplikan cerita di atas menunjukan bahwa siapapun orangnya akan menyesal dan menyadari akan kesalahan yang telah dilakukan. Karman bersikap seperti itu karena menyadari masa lalunya yang diwarnai kesombongan, kemungkaran,dan nyaris mendekati kematian. Karman sangat malu berhadapan dengan Haji Bakir yang dahulu pernah dibencinya dan Karman merasa bersyukur masih dapat bertemu dan diterima kembali oleh orang-orang di desanya.
              Sambutan masyarakat Pagetan harus dipahami sebagai bentuk simpati dan pemaafan terhadap orang yang telah melakukan kesalahan dan menderita karena kesalahannya itu, bukan sambutan terhadap paham yang pernah dianutnya. Melalui novel Kubah, Ahmad Tohari memberikan pelajaran pada pembaca untuk bisa memahami dan memberi maaf terhadap pribadi yang telah menyadari kesalahan atau ketersesatannya untuk mendapatkan kembali harkat kemanusiaanya. Di sisi lain novel ini juga memberikan pelajaran bahwa pribadi yang bersangkutan juga harus dapat membuktikan kesadarannya bahwa ia telah berubah dan kembali ke jalan yang benar. Hal ini oleh Ahmad Tohari ditunjukkan dengan keberanian tokoh Karman meminta bagian untuk ikut membangun masjid milik Haji Bakir yang sudah rapuh dengan menyanggupinya membuat kubah yang baru. Kesanggupan Karman didasari pengalamannya belajar mematri dan mengelas ketika berada di pengasingan.

           Tetapi Karman menganggap pekerjaan membuat  kubah itu sebagai kesempatn yang istimewa. Sesen pun ia tak mengharapkan upah.Bahkan dengan menyanggupi pekerjaan itu ia hanya ingin memberi jasa. Bagaimana juga sepulang dari pengasingan ia merasa ada yang hilang pada dirinya. Ia ingin memperoleh kembali bagian  hilang itu. Bila ia dapat memberi sebuah kubah yang bagus kepada orang-orang Pagetan, ia berharap akan memperoleh apa yang hilang itu. Atau setidaknya Karman bisa membuktikan bahwa dari seorang bekas tahanan politik seperti dia masih dapat diharapkan sesuatu. (Kubah, 1995 : 188).

.................................................................................................................
           “Luar biasa bagusnya,” kata seseorang ketika kubah masjid hasil kerja Karman selesai dipasang menjadi puncak bangunan masjid.
           “Beruntung, “ sambung yang lain, “kita mendapatkan Karman kembali. Kalu tidak, niscaya kita tidak bisa bersembahyang di dalam masjid sebagus ini.”
           Karman mendengengar puji-pujian itu. Rasanya dia yakin bahwa dirinya tidak berhak menerima semua pujian itu. Tetapi wajah orang-oang Pagetan yang berhias senyum, sikap mereka yang makin ramah, membuata Karman merasa sangat bahagia. Karman sudah melihat jalan kembali menuju kebersamaan dan kesetaraan dalam pergaulan yang hingga hari-hari kemarin terasa mengucilkan dirinya. Oh, kubah yang sederhana itu! Dalam kbisuannya, mahkota masjid itu terasa terus mengumandangkan janji akan memberikan harga asasi kepada setiap manusia yang sadar akan kemanusiaanya. Dan Karman merasa tidak terkecuali (Kubah, 1995 : 199).


            Kesanggupan Karman membuat kubah masjid untuk membuktikan bahwa dirinya telah berubah ternyata terbukti. Sambutan dan pujian masyarakat terhadap hasil hasil karya Karman menunjukkan bahwa Karman betul-betul telah diterima kembali di desanya dan telah mengembalikan harkat kemanusiaanya yang telah hilang.