PENGEMBANGAN
BUDAYA PROGRESIF
MELALUI
PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ada enam nilai dasar yang
menentukan sistem nilai atau sistem moral setiap pribadi, setiap kelompok sosial, dan setiap budaya,
yaitu nilai teoretis, ekonomi, agama, estetik, kekuasaan dan persaudaraan.
Budaya atau peradaban modern menggambarkan budaya progresif, yang system
moralnya didominasi oleh nilai teoretis ilmu yang bertujuan mengidentifikasi
benda dan kejadian secara objektif, dan oleh nilai ekonomi yang bertujuan
menciptakan barang-barang kebutuhan secara efisien. Semua lembaga pendidikan
tentu mempunyai tujuan untuk mengembangkan nilai teoretis, meskipun kadarnya
bervariasi antara lembaga pendidikan yang satu dengan lainnya, sesuai dengan
jenis dan tingkat pendidikannya. Oleh karena itu, sebenarnya lembaga pendidikan
merupakan wahana untuk mengembangkan budaya progresif. Budaya progresif ini
tercermin dalam kemauan untuk maju dan berkembang, didukung oleh penemuan
ilmiah serta pemenuhan kebutuhan secara efisien berdasarkan pemikiran secara
rasional dan logis (Zuhdi, 2008: 186).
Di samping budaya progresif, perlu
juga dikembangkan budaya ekspresif, yakni yang diwarnai oleh nilai agama dan
nilai estetik yang berdasarkan perasaan, intuisi, imajinasi, dan kepercayaan.
Budaya progresif dan ekspresif ini harus dikembangkan secara harmonis, karena
pengabaian salah satu dari dua jenis budaya tersebut akan menimbulkan
ketidakserasian dalam kehidupan umat manusia. Namun, yang akan dibahas dalam makalah ini adalah pengembangan
budaya progresif. Karena pendidikan dewasa ini berorientasi pada bidang studi,
maka pengembangan budaya progresif seharusnya tercermin dalam isi dan proses
pembelajaran setiap bidang studi.
B. Permasalahan
Permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah “Bagaimanakah implementasi pengembangan budaya progresif dalam pembelajaran bahasa
Indonesia?”
BAB II
KAJIAN TEORETIS
Dalam upaya menuju masa depan yang
lebih maju, kita harus memiliki pandangan baru. Pandangan baru tersebut
hendaknya berakar pada pemahaman manusia secara utuh dan mendalam. Dengan cara
demikian, diharapkan masalah-masalah yang muncul dapat diatasi secara mendasar,
dan selanjutnya dapat menimbulkan tanggung jawab dan kegotongroyongan dalam
segi sosial dan budaya bagi
kehidupan manusia di dunia ini.
Khususnya
dalam mengatasi masalah-masalah yang saat ini harus dihadapi oleh negara-negara
yang sedang berkembang, wawasan baru tersebut tidak boleh tidak harus
dikembangkan. Adapun masalah-masalah yang diidentifikasi sebagai masalah dunia
(global) adalah kemiskinan, kelebihan penduduk, keadilan sosial, rasisme, kebutuhan
akan nilai demokrasi, penghormatan terhadap hak-hak manusia, dampak negatif kemajuan teknologi,
polusi, narkotik, pencapaian perdamaian dan masih banyak lagi yang lain.
Meskipun masalah ini tidak menimpa setiap negara, tetapi merupakan masalah
kemanusiaan yang mungkin akan muncul di Negara mana pun apabila upaya
penanggulangannya tidak dilakukan secara sungguh-sungguh (Zuhdi, 2008:187).
Lembaga
pendidikan, yang diharapkan berfungsi sebagai agen pembaharu, seharusnya
memiliki daya tanggap yang tinggi terhadap berbagai masalah dunia tersebut.
Melalui proses pendidikan perlu ditumbuhkan kesadaran akan tanggung jawab setiap
manusia, baik secara individual maupun secara kolektif untuk mencegah munculnya
masalah-masalah tersebut. Di samping itu, perlu dikembangkan keterampilan
mengatasi masalah yang tidak dapat dihindari lagi kemunculannya.
Kebutuhan
akan keterampilan menanggulangi ataupun memecahkan masalah lewat proses
pendidikan itu tidak selalu harus dipenuhi dengan penambahan muatan kurikulum
seperti yang selama ini sering dilakukan di Negara kita. Suatu kurikulum memang
harus dievaluasi secara periodik
untuk menilai kesesuaiannya dengan kebutuhan masa kini. Namun, perubahan yang
harus dilakukan perlu diupayakan jangan sampai menimbulkan dampak terlalu
saratnya muatan kurikulum, sehingga justru menyebabkan menurunnya kualitas
pendidikan disebabkan peserta didik harus menanggung beban studi yang terlampau
berat. Kondisi seperti ini dapat dihindari antara lain dengan memperkirakan
muatan maksimal setiap kurikulum dan memberikan ruang bagi kemungkinan
penambahan muatan (dalam jumlah terbatas) atau penggantian muatan tertentu
dengan muatan baru yang lebih relevan. Dengan kata lain, hendaknya ada
bidang-bidang studi yang bersifat terbuka, terbuka bagi kemungkinan diberi isi
baru yang sesuai dengan kebutuhan pendidikan masa kini (berdasarkan perkiraan
kebutuhan masyarakat untuk masa yang akan datang). Dalam hal ini bidang studi
bahasa Indonesia kiranya tepat untuk tujuan itu. Sesuai dengan permasalah dalam makalah
ini maka bahasa Indonesialah salah satu bidang studi yang sesuai untuk
mengembangkan budaya progresif. Namun, sebelum berbicara lebih lanjut mengenai
hal ini, perlu kiranya kita tinjau hubungan antara bahasa dan kebudayaan.
Masinambow
(dalam Alfian, 1984) mengemukakan dua macam pandangan mengenai kedudukan bahasa
dan kebudayaan apabila kita menganggap bahwa bahasa dan kebudayaan memiliki
hubungan subordinatif. Menurut pandangan pertama, bahasa merupakan yang utama;
artinya bahasa menentukan corak kebudayaan. Aspek-aspek kebudayaan seperti
organisasi social, system kepercayaan, system ekonomi, dan sebagainya merupakan
aspek periferal, bersifat ekstralingual. Sebaliknya, menurut pandangan kedua,
bahasa merupakan salah satu subsistem dari kebudayaan. Secara sinkronis, bahasa
terlibat dalam proses keberadaan dan perkembangan kebudayaan. Adapun secara
diakronis, bahasa dianggap merupakan system yang selalu dalam keadaan berubah.
Baik menurut pandangan pertama maupun yang kedua, bahasa dan kebudayaan
memiliki hubungan yang sangat erat. Bahkan, kebudayaan manusia tidak akan dapat
terjadi tanpa bahasa; bahasalah faktor
yang memungkinkan terbentuknya kebudayaan (Nababan, 1986: 50). Hubungan antara
bahasa dan kebudayaan digambarkan secara jelas dalam diagram berikut.
Filogenik
(Sistemik)
Kebudayaan Ontogenik Bahasa
(Belajar)
Hubungan
filogenik: bahasa merupakan bagian dari kebudayaan. Hubungan ontogenik:
seseorang belajar kebudayaan melalui bahasanya. Nababan menekankan bahwa kedua
hubungan ini perlu dipertimbangkan dalam pembelajaran bahasa. Oleh karena itu,
pengembangan corak suatu budaya dapat ditempuh melalui pengembangan bahasa (Zuhdi, 2008: 189)
BAB III
PEMBAHASAN MASALAH
Dalam upaya
mengembangkan budaya progresif melalui pembelajaran bahasa Indonesia, maka isi
dan kegiatan belajarnya harus mencerminkan perwujudan budaya progresif, yang
ciri-cirinya telah dikemukakan pada bagian pendahuluan bab ini. Salah satu
kompetensi yang harus dimiliki oleh siswa (yang belajar) agar berbudaya
progresif ialah keterampilan berpikir secara kritis. Oleh karena itu, pada
bagian berikut ini akan dibahas strategi untuk membuat siswa memiliki kemampuan
berpikir kritis, strategi pemecahan masalah beserta penerapannya dalam
pembelajaran bahasa Indonesia.
Salah satu strategi
untuk mengembangkan keterampilan memecahkan masalah ialah menghadapkan siswa
pada masalah-masalah yang memerlukan secara kreatif atau yang memiliki berbagai
kemungkinan pemecahan. Yang menjadi fokusnya adalah proses pemecahan masalah. Siswa
didorong untuk mengidentifikasi masalah dan kendala-kendala dalam pemecahannya,
membuat asumsi-asumsi, dan mengemukakan kemungkinan-kemungkinan pemecahannya.
Strategi
pemecahan masalah ini meliputi mengidentifikasi masalah; menyatakan tujuan
pemecahan masalah; membuat daftar kendala-kendala dalam pemecahan masalah,
asumsi-asumsi yang relevan untuk pemecahan masalah, dan fakta-fakta yang dapat
menunjang pemecahan masalah; mengemukakan kemungkinan-kemungkinan pemecahan
masalah; menentukan pemecahan masalah yang paling sesuai; menganalisis, membuat
sintesis, dan mengevaluasi pemecahan masalah; melaporkan, mengimplementasikan,
serta mengecek hasil. Langkah-langkah tersebut disusun berurutan guna pemecahan
masalah secara optimal. Setiap langkah dapat dipandang sebagai masalah kecil
yang memungkinkan para siswa berpikir secara kritis dalam melaksanakannya (Zuhdi, 2008: 190). Tentu saja guru dapat menyederhanakan
langkah-langkah tersebut agar disesuaikan dengan tujuan yang akan dicapainya
dan juga tingkat kemampuan siswa .
Kita
perhatikan langkah-langkah tersebut, jika strategi pemecahan masalah ini
digunakan dalam pembelajaran bahasa Indonesia, akan banyak kesempatan yang
diberikan kepada siswa untuk melatih keterampilan mereka berbahasa Indonesia.
Pada langkah pertama, yakni mengidentifikasi masalah, setiap siswa dapat
diminta menuliskan masalah-masalah yang telah diidentifikasi, kemudian
mengemukakannya secara lisan di kelas untuk memperoleh tanggapan dari siswa
yang lain atau dari guru. Pada langkah ini siswa perlu diarahkan agar mampu
menyusun urutan masalah dari yang paling mendesak. Dengan demikian, kebiasaan
untuk menyusun skala prioritas pemecahan masalah dapat berkembang pada diri siswa.
Demikian
juga dengan langkah-langkah berikutnya, semua memberikan kesempatan yang cukup
banyak kepada siswa untuk berpikir secara kritis dan melatih keterampilan
berbahasa, baik secara lisan maupun secara tertulis. Misalnya, pada langkah
mengemukakan berbagai kemungkinan pemecahan masalah, di samping siswa dilatih
berinkuiri atau melakukan penemuan pemecahan masalah berdasarkan gagasannya
sendiri (kegiatan ini melatih keterampilan menulis dan berbicara), mereka perlu
dibiasakan menelaah pustaka-pustaka yang relevan sehingga menemukan kemungkinan pemecahan masalah
secara teoretis atau konseptual dari khazanah ilmu yang ada. Dengan demikian,
mereka akan terbiasa untuk membaca secara cermat dan kritis.
Masalah-masalah
kemanusiaan seperti yang telah diutarakan pada bagian sebelumnya, yaitu
kemiskinan, kelebihan penduduk, keadilan social, polusi, dampak kemajuan
teknologi, dan sebagainya, hendaknya disusun menjadi suatu seri pembelajaran
bahasa Indonesia. Dengan menyusun pembelajaran bahasa Indonesia sebagai suatu
seri masalah yang harus dicari pemecahannya dalam kegiatan belajar mengajar,
bukan sebagai suatu seri ceramah yang harus didengarkan dan diingat oleh siswa
bahasa, mereka terlatih untuk menggunakan bahasa Indonesia guna mempelajarii materi pembelajaran.
A. Peranan Guru
Peranan guru dalam pembelajaran bahasa
Indonesia yang menggunakan strategi pemecahan masalah ialah sebagai perencana
proses, konsultan, fasilitator, dan pengontrol kualitas. Selaku perencana
proses, guru menyusun dan merancang
pembelajaran. Sebagai pengganti pembuatan satuan pelajaran secara tradisional, guru perlu menyusun
masalah berdasarkan materi yang telah dipilihnya, menyusun bahan pembelajaran yang dapat dipelajari sendiri oleh para siswa,
dan menyiapkan lembar balikan untuk setiap langkah dalam setiap masalah.
Pembuatan rencana kegiatan ini membutuhkan pemikiran kreatif. Di samping itu,
dibutuhkan waktu untuk mengoordinasikan dan mengurutkan masalah dan tugas-tugas
sehingga masalah beserta pemecahannya cukup bermakna dan balikan yang diperoleh
cukup berguna bagi siswa untuk meningkatkan keterampilan berbahasa dan
memecahkan masalah.
Sebagai
konsultan dan fasilitator, guru bertugas memberikan informasi, mendorong para siswa
agar aktif dalam diskusi kelompok dengan menggunakan bahasa Indonesia secara
baik dan benar, dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dapat merangsang siswa
untuk berpikir. Guru tidak selalu harus menyampaikan informasi dalam bentuk
ceramah. Informasi dapat diberikan apabila para siswa tidak dapat memecahkan
masalah atau jika sebuah kelompok menemukan pemecahan masalah yang sangat bagus
sehingga perlu disampaikan kepada siswa-siswa yang lain.
Selaku
pengontrol kualitas, guru memiliki peranan yang sangat berarti dalam memberikan
balikan kepada para siswa, baik balikan tertulis maupun yang diutarakan secara
lisan kepada setiap kelompok atau kepada seluruh siswa di kelas. Balikan harus
berupa informasi yang dapat membantu para siswa memperbaiki kesalahannya
berbahasa dan meningkatkan kemampuannya
untuk memecahkan masalah secara tepat.
B. Peranan Siswa
Dalam pembelajaran bahasa Indonesia
yang menggunakan strategi pemecahan masalah, para siswa benar-benar harus
aktif. Mereka harus bersedia memberikan sumbangan pikirannya dan mengembangkan
keterampilannya berkomunikasi dalam kelompoknya maupun dalam kelas, khususnya
keterampilan menyimak, menyatakan pendapat, dan menyimpulkan. Siswa berfungsi
baik sebagai tutor jika sedang menerangkan suatu wawasan kepada siswa yang
lain, maupun sebagai yang ditutori jika ia tidak dapat memahami sesuatu dan
perlu meminta penjelasan kepada temannya. Dengan demikian, mereka dituntut
menjadi siswa yang aktif menyampaikan gagasan, mempelajari materi pembelajaran di luar jam pelajaranan, mempelajari keterampilan memecahkan
masalah, dan dapat menerima pengalaman belajar dalam bentuk baru. Semua
kegiatan ini membutuhkan keterampilan dalam berbahasa Indonesia, baik secara
lisan maupun tertulis.
Pembelajaran
bahasa Indonesia dengan strategi pemecahan masalah seperti yang telah diuraikan
di atas berpusat pada siswa. Oleh karena itu, hal-hal yang perlu mereka ketahui
harus disampaikan secara jelas. Untuk itu, diperlukan informasi mengenai :
1. Situasi
pemakaian bahasa;
2. Maksud
dan tujuan pemakaian bahasa;
3. Ragam
bahasa yang akan digunakan (tulis, lisan, resmi, tak resmi);
4. Tingkat
kemahiran berbahasa yang diinginkan.
(Tarigan,
1989: 131)
Guna memberikan kesempatan kepada siswa
untuk menggunakan berbagai ragam bahasa Indonesia, guru dapat merancang
berbagai setting pemecahan masalah,
misalnya saja pemecahan masalah kemiskinan dalam rembug desa. Dengan demikian, siswa sekaligus dapat melakukan
berbagai peran, baik sebagai lurah, carik, kebayan, maupun rakyat biasa.
Kemampuan bermain peran ini sangat berharga bagi kehidupan mereka kelak, di
samping dapat mengembangkan kemampuan menempatkan diri di pihak orang lain (tepa slira).
Setiap pendekatan pembelajaran bahasa
yang hanya mementingkan pembelajaran bahasa saja, tidak akan sesuai kebutuhan siswa
bahasa . Yang justru diperlukan adalah pendekatan integrative yang mengaitkan
pembelajaran bahasa dengan pembelajaran isi, dan mengakui peranan konteks dalam
komunikasi (Mohan dalam Tarigan, 1989: 136). Pembelajaran bahasa Indonesia
dengan strategi pemecahan masalah memberikan kesempatan kepada siswa untuk mempelajari materi dan memecahkan
masalah-masalah kehidupan yang nyata dengan menggunakan bahasa Indonesia dalam
penggunaan yang sebenarnya. Dengan demikian, mereka menggunakan bahasa untuk
belajar. Hal
ini sesuai dengan hakikat bahasa yang memang berfungsi sebagai sarana dalam
rangka menemukan kebenaran ilmiah, dan mengembangkan ilmu. Dengan kata lain,
pembelajaran bahasa Indonesia dengan strategi pemecahan masalah merupakan
praktik pengembangan nilai teoretis, dan seperti telah diuraikan pada awal bab
ini, berkembangnya nilai-nilai teoretis secara pesat merupakan salah satu ciri
berkembangnya budaya progresif.
BAB IV
KESIMPULAN
Bahasa dan kebudayaan memiliki hubungan
yang sangat erat, baik hubungan filogenik maupun ontogenik. Dengan
mempertimbangkan kedua hubungan ini, pengembangan budaya dapat dilakukan
melalui isi dan proses pembelajaran bahasa Indonesia. Salah satu corak budaya
yang perlu dikembangkan di negara kita adalah budaya progresif, yang salah satu
cirinya berupa berkembangnya nilai-nilai teoretis berdasarkan pemikiran secara
rasional dan logis.
Pembelajaran bahasa Indonesia dengan
strategi pemecahan masalah memberikan kesempatan yang cukup banyak bagi siswa untuk menggunakan bahasa. Langkah pemecahan
masalah dalam strategi ini memungkinkan siswa mengembangkan keterampilan
memecahkan masalah-masalah yang diidentifikasi sebagai masalah global, seperti kemiskinan,
keadilan sosial,
penerapan nilai demokrasi, dan sebagainya.
Siswa
harus aktif mengembangkan keterampilan berkomunikasi untuk menyampaikan gagasan
maupun menanggapi gagasan orang lain. Siswa perlu melakukan kegiatan mempelajari materi di luar jam pelajaran dan mempelajari keterampilan memecahkan
masalah. Kemampuan menggunakan berbagai ragam bahasa dapat diupayakan dengan
merancang berbagai setting pemecahan
masalah. Sedangkan peranan
guru adalah sebagai perencana proses, konsultan, fasilitator, dan pengontrol
kualitas.
DAFTAR PUSTAKA
Alfian, ed. 1986. Persepsi Masyarakat tentang Kebudayaan.
Jakarta: Gremdia.
Gandhi, Teguh Wangsa.
2011. Filsafat Pendidikan: Mazhab-Mazhab
Filsafat Pendidikan. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Nababan, P.W.J. 1986. Sosiolinguistik, Suatu Pengantar.
Jakarta: Gramedia.
Tarigan, H.G. 1989. Pengajaran Remidi Bahasa. Bandung:
Angkasa.
Tilaar, H.A.R. 2005. Manifesto Pendidikan Nasional, Tinjauan dari
Persektif Postmodernisme dan Studi Kultural. Jakarta : Kompas.
Zuhdi, Darmiyati. 2008.
Humanisasi Pendidikan: Menemukan Kembali
Pendidikan yang Manusiawi. Jakarta: Bumi Aksara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar