Selasa, 09 April 2013

PENGEMBANGAN BUDAYA PROGRESIF


PENGEMBANGAN BUDAYA PROGRESIF
MELALUI PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Ada enam nilai dasar yang menentukan sistem nilai atau sistem moral setiap pribadi, setiap kelompok sosial, dan setiap budaya, yaitu nilai teoretis, ekonomi, agama, estetik, kekuasaan dan persaudaraan. Budaya atau peradaban modern menggambarkan budaya progresif, yang system moralnya didominasi oleh nilai teoretis ilmu yang bertujuan mengidentifikasi benda dan kejadian secara objektif, dan oleh nilai ekonomi yang bertujuan menciptakan barang-barang kebutuhan secara efisien. Semua lembaga pendidikan tentu mempunyai tujuan untuk mengembangkan nilai teoretis, meskipun kadarnya bervariasi antara lembaga pendidikan yang satu dengan lainnya, sesuai dengan jenis dan tingkat pendidikannya. Oleh karena itu, sebenarnya lembaga pendidikan merupakan wahana untuk mengembangkan budaya progresif. Budaya progresif ini tercermin dalam kemauan untuk maju dan berkembang, didukung oleh penemuan ilmiah serta pemenuhan kebutuhan secara efisien berdasarkan pemikiran secara rasional dan logis (Zuhdi, 2008: 186).
          Di samping budaya progresif, perlu juga dikembangkan budaya ekspresif, yakni yang diwarnai oleh nilai agama dan nilai estetik yang berdasarkan perasaan, intuisi, imajinasi, dan kepercayaan. Budaya progresif dan ekspresif ini harus dikembangkan secara harmonis, karena pengabaian salah satu dari dua jenis budaya tersebut akan menimbulkan ketidakserasian dalam kehidupan umat manusia. Namun, yang akan dibahas dalam makalah ini adalah pengembangan budaya progresif. Karena pendidikan dewasa ini berorientasi pada bidang studi, maka pengembangan budaya progresif seharusnya tercermin dalam isi dan proses pembelajaran setiap bidang studi.

B. Permasalahan
Permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah Bagaimanakah implementasi pengembangan budaya progresif dalam pembelajaran bahasa Indonesia?


BAB II
KAJIAN TEORETIS

Dalam upaya menuju masa depan yang lebih maju, kita harus memiliki pandangan baru. Pandangan baru tersebut hendaknya berakar pada pemahaman manusia secara utuh dan mendalam. Dengan cara demikian, diharapkan masalah-masalah yang muncul dapat diatasi secara mendasar, dan selanjutnya dapat menimbulkan tanggung jawab dan kegotongroyongan dalam segi sosial dan budaya bagi kehidupan manusia di dunia ini.
          Khususnya dalam mengatasi masalah-masalah yang saat ini harus dihadapi oleh negara-negara yang sedang berkembang, wawasan baru tersebut tidak boleh tidak harus dikembangkan. Adapun masalah-masalah yang diidentifikasi sebagai masalah dunia (global) adalah kemiskinan, kelebihan penduduk, keadilan sosial, rasisme, kebutuhan akan nilai demokrasi, penghormatan terhadap hak-hak manusia, dampak negatif kemajuan teknologi, polusi, narkotik, pencapaian perdamaian dan masih banyak lagi yang lain. Meskipun masalah ini tidak menimpa setiap negara, tetapi merupakan masalah kemanusiaan yang mungkin akan muncul di Negara mana pun apabila upaya penanggulangannya tidak dilakukan secara sungguh-sungguh (Zuhdi, 2008:187).
          Lembaga pendidikan, yang diharapkan berfungsi sebagai agen pembaharu, seharusnya memiliki daya tanggap yang tinggi terhadap berbagai masalah dunia tersebut. Melalui proses pendidikan perlu ditumbuhkan kesadaran akan tanggung jawab setiap manusia, baik secara individual maupun secara kolektif untuk mencegah munculnya masalah-masalah tersebut. Di samping itu, perlu dikembangkan keterampilan mengatasi masalah yang tidak dapat dihindari lagi kemunculannya.
          Kebutuhan akan keterampilan menanggulangi ataupun memecahkan masalah lewat proses pendidikan itu tidak selalu harus dipenuhi dengan penambahan muatan kurikulum seperti yang selama ini sering dilakukan di Negara kita. Suatu kurikulum memang harus dievaluasi secara periodik untuk menilai kesesuaiannya dengan kebutuhan masa kini. Namun, perubahan yang harus dilakukan perlu diupayakan jangan sampai menimbulkan dampak terlalu saratnya muatan kurikulum, sehingga justru menyebabkan menurunnya kualitas pendidikan disebabkan peserta didik harus menanggung beban studi yang terlampau berat. Kondisi seperti ini dapat dihindari antara lain dengan memperkirakan muatan maksimal setiap kurikulum dan memberikan ruang bagi kemungkinan penambahan muatan (dalam jumlah terbatas) atau penggantian muatan tertentu dengan muatan baru yang lebih relevan. Dengan kata lain, hendaknya ada bidang-bidang studi yang bersifat terbuka, terbuka bagi kemungkinan diberi isi baru yang sesuai dengan kebutuhan pendidikan masa kini (berdasarkan perkiraan kebutuhan masyarakat untuk masa yang akan datang). Dalam hal ini bidang studi bahasa Indonesia kiranya tepat untuk tujuan itu. Sesuai dengan permasalah dalam makalah ini maka bahasa Indonesialah salah satu bidang studi yang sesuai untuk mengembangkan budaya progresif. Namun, sebelum berbicara lebih lanjut mengenai hal ini, perlu kiranya kita tinjau hubungan antara bahasa dan kebudayaan.
          Masinambow (dalam Alfian, 1984) mengemukakan dua macam pandangan mengenai kedudukan bahasa dan kebudayaan apabila kita menganggap bahwa bahasa dan kebudayaan memiliki hubungan subordinatif. Menurut pandangan pertama, bahasa merupakan yang utama; artinya bahasa menentukan corak kebudayaan. Aspek-aspek kebudayaan seperti organisasi social, system kepercayaan, system ekonomi, dan sebagainya merupakan aspek periferal, bersifat ekstralingual. Sebaliknya, menurut pandangan kedua, bahasa merupakan salah satu subsistem dari kebudayaan. Secara sinkronis, bahasa terlibat dalam proses keberadaan dan perkembangan kebudayaan. Adapun secara diakronis, bahasa dianggap merupakan system yang selalu dalam keadaan berubah. Baik menurut pandangan pertama maupun yang kedua, bahasa dan kebudayaan memiliki hubungan yang sangat erat. Bahkan, kebudayaan manusia tidak akan dapat terjadi tanpa bahasa; bahasalah faktor yang memungkinkan terbentuknya kebudayaan (Nababan, 1986: 50). Hubungan antara bahasa dan kebudayaan digambarkan secara jelas dalam diagram berikut.

Filogenik
 

                                            (Sistemik)
        Kebudayaan                  Ontogenik                    Bahasa
 

(Belajar)
          Hubungan filogenik: bahasa merupakan bagian dari kebudayaan. Hubungan ontogenik: seseorang belajar kebudayaan melalui bahasanya. Nababan menekankan bahwa kedua hubungan ini perlu dipertimbangkan dalam pembelajaran bahasa. Oleh karena itu, pengembangan corak suatu budaya dapat ditempuh melalui pengembangan bahasa (Zuhdi, 2008: 189)
         


BAB III
PEMBAHASAN MASALAH

Dalam upaya mengembangkan budaya progresif melalui pembelajaran bahasa Indonesia, maka isi dan kegiatan belajarnya harus mencerminkan perwujudan budaya progresif, yang ciri-cirinya telah dikemukakan pada bagian pendahuluan bab ini. Salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh siswa (yang belajar) agar berbudaya progresif ialah keterampilan berpikir secara kritis. Oleh karena itu, pada bagian berikut ini akan dibahas strategi untuk membuat siswa memiliki kemampuan berpikir kritis, strategi pemecahan masalah beserta penerapannya dalam pembelajaran bahasa Indonesia.
Salah satu strategi untuk mengembangkan keterampilan memecahkan masalah ialah menghadapkan siswa pada masalah-masalah yang memerlukan secara kreatif atau yang memiliki berbagai kemungkinan pemecahan. Yang menjadi fokusnya adalah proses pemecahan masalah. Siswa didorong untuk mengidentifikasi masalah dan kendala-kendala dalam pemecahannya, membuat asumsi-asumsi, dan mengemukakan kemungkinan-kemungkinan pemecahannya.
          Strategi pemecahan masalah ini meliputi mengidentifikasi masalah; menyatakan tujuan pemecahan masalah; membuat daftar kendala-kendala dalam pemecahan masalah, asumsi-asumsi yang relevan untuk pemecahan masalah, dan fakta-fakta yang dapat menunjang pemecahan masalah; mengemukakan kemungkinan-kemungkinan pemecahan masalah; menentukan pemecahan masalah yang paling sesuai; menganalisis, membuat sintesis, dan mengevaluasi pemecahan masalah; melaporkan, mengimplementasikan, serta mengecek hasil. Langkah-langkah tersebut disusun berurutan guna pemecahan masalah secara optimal. Setiap langkah dapat dipandang sebagai masalah kecil yang memungkinkan para siswa berpikir secara kritis dalam melaksanakannya (Zuhdi, 2008: 190). Tentu saja guru dapat menyederhanakan langkah-langkah tersebut agar disesuaikan dengan tujuan yang akan dicapainya dan juga tingkat kemampuan siswa .
          Kita perhatikan langkah-langkah tersebut, jika strategi pemecahan masalah ini digunakan dalam pembelajaran bahasa Indonesia, akan banyak kesempatan yang diberikan kepada siswa untuk melatih keterampilan mereka berbahasa Indonesia. Pada langkah pertama, yakni mengidentifikasi masalah, setiap siswa dapat diminta menuliskan masalah-masalah yang telah diidentifikasi, kemudian mengemukakannya secara lisan di kelas untuk memperoleh tanggapan dari siswa yang lain atau dari guru. Pada langkah ini siswa perlu diarahkan agar mampu menyusun urutan masalah dari yang paling mendesak. Dengan demikian, kebiasaan untuk menyusun skala prioritas pemecahan masalah dapat berkembang pada diri siswa.
          Demikian juga dengan langkah-langkah berikutnya, semua memberikan kesempatan yang cukup banyak kepada siswa untuk berpikir secara kritis dan melatih keterampilan berbahasa, baik secara lisan maupun secara tertulis. Misalnya, pada langkah mengemukakan berbagai kemungkinan pemecahan masalah, di samping siswa dilatih berinkuiri atau melakukan penemuan pemecahan masalah berdasarkan gagasannya sendiri (kegiatan ini melatih keterampilan menulis dan berbicara), mereka perlu dibiasakan menelaah pustaka-pustaka yang relevan sehingga  menemukan kemungkinan pemecahan masalah secara teoretis atau konseptual dari khazanah ilmu yang ada. Dengan demikian, mereka akan terbiasa untuk membaca secara cermat dan kritis.
          Masalah-masalah kemanusiaan seperti yang telah diutarakan pada bagian sebelumnya, yaitu kemiskinan, kelebihan penduduk, keadilan social, polusi, dampak kemajuan teknologi, dan sebagainya, hendaknya disusun menjadi suatu seri pembelajaran bahasa Indonesia. Dengan menyusun pembelajaran bahasa Indonesia sebagai suatu seri masalah yang harus dicari pemecahannya dalam kegiatan belajar mengajar, bukan sebagai suatu seri ceramah yang harus didengarkan dan diingat oleh siswa bahasa, mereka terlatih untuk menggunakan bahasa Indonesia guna mempelajarii materi pembelajaran.

A. Peranan Guru
Peranan guru dalam pembelajaran bahasa Indonesia yang menggunakan strategi pemecahan masalah ialah sebagai perencana proses, konsultan, fasilitator, dan pengontrol kualitas. Selaku perencana proses, guru  menyusun dan merancang pembelajaran. Sebagai pengganti pembuatan satuan pelajaran secara tradisional, guru perlu menyusun masalah berdasarkan materi yang telah dipilihnya, menyusun bahan pembelajaran yang dapat dipelajari sendiri oleh para siswa, dan menyiapkan lembar balikan untuk setiap langkah dalam setiap masalah. Pembuatan rencana kegiatan ini membutuhkan pemikiran kreatif. Di samping itu, dibutuhkan waktu untuk mengoordinasikan dan mengurutkan masalah dan tugas-tugas sehingga masalah beserta pemecahannya cukup bermakna dan balikan yang diperoleh cukup berguna bagi siswa untuk meningkatkan keterampilan berbahasa dan memecahkan masalah.
          Sebagai konsultan dan fasilitator, guru bertugas memberikan informasi, mendorong para siswa agar aktif dalam diskusi kelompok dengan menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar, dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dapat merangsang siswa untuk berpikir. Guru tidak selalu harus menyampaikan informasi dalam bentuk ceramah. Informasi dapat diberikan apabila para siswa tidak dapat memecahkan masalah atau jika sebuah kelompok menemukan pemecahan masalah yang sangat bagus sehingga perlu disampaikan kepada siswa-siswa yang lain.
          Selaku pengontrol kualitas, guru memiliki peranan yang sangat berarti dalam memberikan balikan kepada para siswa, baik balikan tertulis maupun yang diutarakan secara lisan kepada setiap kelompok atau kepada seluruh siswa di kelas. Balikan harus berupa informasi yang dapat membantu para siswa memperbaiki kesalahannya berbahasa dan  meningkatkan kemampuannya untuk memecahkan masalah secara tepat.

B. Peranan Siswa
Dalam pembelajaran bahasa Indonesia yang menggunakan strategi pemecahan masalah, para siswa benar-benar harus aktif. Mereka harus bersedia memberikan sumbangan pikirannya dan mengembangkan keterampilannya berkomunikasi dalam kelompoknya maupun dalam kelas, khususnya keterampilan menyimak, menyatakan pendapat, dan menyimpulkan. Siswa berfungsi baik sebagai tutor jika sedang menerangkan suatu wawasan kepada siswa yang lain, maupun sebagai yang ditutori jika ia tidak dapat memahami sesuatu dan perlu meminta penjelasan kepada temannya. Dengan demikian, mereka dituntut menjadi siswa yang aktif menyampaikan gagasan, mempelajari materi pembelajaran di luar jam pelajaranan, mempelajari keterampilan memecahkan masalah, dan dapat menerima pengalaman belajar dalam bentuk baru. Semua kegiatan ini membutuhkan keterampilan dalam berbahasa Indonesia, baik secara lisan maupun tertulis.
          Pembelajaran bahasa Indonesia dengan strategi pemecahan masalah seperti yang telah diuraikan di atas berpusat pada siswa. Oleh karena itu, hal-hal yang perlu mereka ketahui harus disampaikan secara jelas. Untuk itu, diperlukan informasi mengenai :
1.    Situasi pemakaian bahasa;
2.    Maksud dan tujuan pemakaian bahasa;
3.    Ragam bahasa yang akan digunakan (tulis, lisan, resmi, tak resmi);
4.    Tingkat kemahiran berbahasa yang diinginkan.
(Tarigan, 1989: 131)

Guna memberikan kesempatan kepada siswa untuk menggunakan berbagai ragam bahasa Indonesia, guru dapat merancang berbagai setting pemecahan masalah, misalnya saja pemecahan masalah kemiskinan dalam rembug desa. Dengan demikian, siswa sekaligus dapat melakukan berbagai peran, baik sebagai lurah, carik, kebayan, maupun rakyat biasa. Kemampuan bermain peran ini sangat berharga bagi kehidupan mereka kelak, di samping dapat mengembangkan kemampuan menempatkan diri di pihak orang lain (tepa slira).
Setiap pendekatan pembelajaran bahasa yang hanya mementingkan pembelajaran bahasa saja, tidak akan sesuai kebutuhan siswa bahasa . Yang justru diperlukan adalah pendekatan integrative yang mengaitkan pembelajaran bahasa dengan pembelajaran isi, dan mengakui peranan konteks dalam komunikasi (Mohan dalam Tarigan, 1989: 136). Pembelajaran bahasa Indonesia dengan strategi pemecahan masalah memberikan kesempatan kepada siswa untuk mempelajari materi dan memecahkan masalah-masalah kehidupan yang nyata dengan menggunakan bahasa Indonesia dalam penggunaan yang sebenarnya. Dengan demikian, mereka menggunakan bahasa untuk belajar. Hal ini sesuai dengan hakikat bahasa yang memang berfungsi sebagai sarana dalam rangka menemukan kebenaran ilmiah, dan mengembangkan ilmu. Dengan kata lain, pembelajaran bahasa Indonesia dengan strategi pemecahan masalah merupakan praktik pengembangan nilai teoretis, dan seperti telah diuraikan pada awal bab ini, berkembangnya nilai-nilai teoretis secara pesat merupakan salah satu ciri berkembangnya budaya progresif.


BAB IV
KESIMPULAN

         Bahasa dan kebudayaan memiliki hubungan yang sangat erat, baik hubungan filogenik maupun ontogenik. Dengan mempertimbangkan kedua hubungan ini, pengembangan budaya dapat dilakukan melalui isi dan proses pembelajaran bahasa Indonesia. Salah satu corak budaya yang perlu dikembangkan di negara kita adalah budaya progresif, yang salah satu cirinya berupa berkembangnya nilai-nilai teoretis berdasarkan pemikiran secara rasional dan logis.
         Pembelajaran bahasa Indonesia dengan strategi pemecahan masalah memberikan kesempatan yang cukup banyak bagi siswa  untuk menggunakan bahasa. Langkah pemecahan masalah dalam strategi ini memungkinkan siswa mengembangkan keterampilan memecahkan masalah-masalah yang diidentifikasi sebagai masalah global, seperti kemiskinan, keadilan sosial, penerapan nilai demokrasi, dan sebagainya.
         Siswa harus aktif mengembangkan keterampilan berkomunikasi untuk menyampaikan gagasan maupun menanggapi gagasan orang lain. Siswa perlu melakukan kegiatan mempelajari materi di luar jam pelajaran dan mempelajari keterampilan memecahkan masalah. Kemampuan menggunakan berbagai ragam bahasa dapat diupayakan dengan merancang berbagai setting pemecahan masalah. Sedangkan peranan guru adalah sebagai perencana proses, konsultan, fasilitator, dan pengontrol kualitas.


DAFTAR PUSTAKA

Alfian, ed. 1986. Persepsi Masyarakat tentang Kebudayaan. Jakarta: Gremdia.
Gandhi, Teguh Wangsa. 2011. Filsafat Pendidikan: Mazhab-Mazhab Filsafat Pendidikan. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Nababan, P.W.J. 1986. Sosiolinguistik, Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia.
Tarigan, H.G. 1989. Pengajaran Remidi Bahasa. Bandung: Angkasa.
Tilaar, H.A.R. 2005. Manifesto Pendidikan Nasional, Tinjauan dari Persektif Postmodernisme dan Studi Kultural. Jakarta : Kompas.
Zuhdi, Darmiyati. 2008. Humanisasi Pendidikan: Menemukan Kembali Pendidikan yang Manusiawi. Jakarta: Bumi Aksara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar