KEMBALINYA HARKAT KEMANUSIAAN
YANG TELAH HILANG
(ANALISIS NOVEL KUBAH KARYA AHMAD TOHARI)
Novel setebal 189
halaman ini menceritakan perjalanan hidup seorang tokoh,
Karman, yang pada masa mudanya tergolong pemuda yang patuh, sopan, ulet, dan rajin ke masjid. Namun, karena tidak bisa
menikahi anak Haji Bakir, Rifah, Karman berubah sikap. Karman membenci Haji
Bakir dan tidak rajin ke masjid lagi. Kekecewaan Karman dimanfaatkan oleh tokoh
komunis Margo dan Triman untuk memasukan idiologinya dalam diri Karman. Karman
terjerumus masuk dalam ideologi komunis dan akhirnya di tangkap dan ditahan di
Pulau B (Buru) dengan meninggalkan seorang isteri dan tiga anak. Setelah masa
tahanan di pengasingan habis, Karman pulang ke desanya dan masyarakat
menerimanya kembali dengan iklas.
Melalui novel Kubah, Ahmad Tohari ingin menyampaikan pesan kepada pembaca bahwa pada
dasarnya semua orang pasti tidak ingin berbuat
salah, dan apabila punya kesalahan pasti ingin memperbaiki kesalahannya
dan ingin kesalahannya dimaafkan. Ahmad Tohari juga berpesan bahwa seharusnya masyarakat
iklas menjadi pemaaf dan bersikap arif terhadap ‘orang-orang buangan’ seperti tokoh Karman yang diceritakan
dalam novel ini.
Cerita dalam novel
ini diawali dengan gambaran keraguan tokoh Karman ketika mau pulang untuk
menimati kebebasannya setelah sekian
lama berada dalam pengasingan di Pulau B. Dia ragu untuk pulang karena khawatir
akan dicibir dan dibenci orang-orang sedesanya.
Setelah
berhasil mengedepankan gejolak perasaannya, Karman sadar bahwa dirinya sedang berada dalam perjalanan
pulang yang panjang dari Pulau B.
Pulang? Tanya Karman berkali-kali kepada dirinya sendiri. Pulang ke mana? Aku
memang lahir di sana, di Pagetan. Di sana aku dibesarkan dan di sana aku pernah
punya rumah, istri dan anak. Namun masih adakah semua itu? Dan, apakah
kampungku, terutama orang-orang, mau menerima aku kembali? Sebuah letupan
kekuatan tiba-tiba mengoyahkan hatinya (Kubah, 1995 : 30).
Keraguan dan kekhawatiran Karman
dapat dimengerti, karena Karman sadar akan statusnya sebagi bekas tahanan
politik yang baru saja dibebaskan dari Pulau B . Semua orang tahu bahwa Pulau B
(baca Buru) adalah tempat pengasingan
para tahanan politik (orang-orang PKI) kelas berat , sehingga wajar kalau
Karman punya kekhawatiran dirinya tidak akan diterima oleh orang-orang di
desanya. Di tambah lagi istrinya yang sangat dicintainya sudah tidak bisa hidup
bersama lagi karena sudah jadi istri orang. Karman teringat kembali kenangan
ketika dia harus merelakan istrinya, Marni, untuk menikah dengan Parta, lelaki
teman sekampung, sedangkan waktu itu dia sendiri masih berada di pengasingan.
Meskipun
diberi hak untuk kembali ke tengah pergaulan masyarakat, Karman sulit menghapus
kekhawatirannya akan ditolak, dibenci, dan dikucilkan oleh masyarakat yang
dahulu pernah dirongrong olehnya. Akan tetapi, tidak ada pilihan lain kecuali
harus pulang ke desanya. Kemudian Karman berniat untuk pulang ke rumah saudara
sepupunya, Gono, yang rumahnya tidak jauh dari kota. Pada awalnya Karman masih ragu-ragu
apakah jadi ke rumah Gono atau tidak. Tanpa diduga sebelumnya, di rumah Gono
Karman bisa bertemu dengan anaknya, Rudio. Dan yang melegakannya lagi, sambutan
Bu Gono yang tulus merupakan pertanda awal bahwa masyarakat akan menerima
kembali orang-orang bekas PKI.
“Ya Tuhan....
Mas Karman?! Kau masih hidup, Mas Karman?”
Karman merasa
sulit berbicara, tidak segera menjawab.
“Ya, Dik.
Syukurlah. Kita masih bisa bertemu lagi. Sekarang tenanglah. Mari kita duduk dulu.”
Tetapi Bu Gono belum bisa
tenang dan belum mau duduk. Dipeluknya Karman erat-erat. Di sela-sela
tangisnya, ia masih berkata-kata penuh emosi.
“Mas Karman, saudaraku, tinggallah
bersama kami di sini. Kau takkan menemukan apa-apa lagi di Pagetan......(Kubah,
1995 : 34).
Apa yang dialami Karman di rumah
Gono membuat dirinya memberanikan pulang ke desa Pagetan ke rumah orang tuanya
sendiri, Bu Mantri. Wajarlah kalau Karman masih dihinggapi keraguan,
kekhawatiran, ketakutan, dan keterasingan yang mencekam untuk kembali ke
desanya. Akan tetapi, keraguan itu ternyata tidak terbukti karena hampir semua
orang Pagetan menerimanya dengan baik, bahkan Haji Bakir bersama isterinya datang
menyambut kepulangannya di rumah Bu
Mantri.
Di rumah orangtuanya, Karman sedang
dirubung oleh para tamu, tetangga-tetangganya yang sudah amat lama
ditinggalkan. Ia merasa heran dan terharu, ternyata orang-orang Pagetan tetap
pada watak mereka yang asli. Ramah, bersaudara, dan yang penting: gampang
melupakan kesalahan orang lain. Padahal yang sangat dikhawatirkan oleh Karman
adalah sikap membenci dan dendam yang mungkin diterimanya begitu ia muncul
kembali di Pagetan. Haji Bakir datang berdua dengan isterinya meskipun ia harus
dibantu dengan tongkat yang menopang tubuhnya yang sudah bungkuk. Apabila Karman
menyambut tamu-tamu yang lain secara wajar, tidak demikian halnya ketika
menerima kedatangan haji yang sudah sangat tua itu.
Begitu
Haji Bakir masuk ke rumah Bu Mantri itu, Karman berlari menjemputnya, lalu
menjatuhkan diri. Dengan bertumpu pada kedua lututnya, Karman memeluk orang tua
itu pada pinggangnya. Ia menangis seperti anak kecil. Haji Bakir yang meras
tidak bisa berbuat apa-apa membiarkan Karman memuaskan tangisnya (Kubah, 1995 :
173-174).
Cuplikan cerita di atas menunjukan
bahwa siapapun orangnya akan menyesal dan menyadari akan kesalahan yang telah
dilakukan. Karman bersikap seperti itu karena menyadari masa lalunya yang
diwarnai kesombongan, kemungkaran,dan nyaris mendekati kematian. Karman sangat
malu berhadapan dengan Haji Bakir yang dahulu pernah dibencinya dan Karman
merasa bersyukur masih dapat bertemu dan diterima kembali oleh orang-orang di
desanya.
Sambutan masyarakat Pagetan harus
dipahami sebagai bentuk simpati dan pemaafan terhadap orang yang telah
melakukan kesalahan dan menderita karena kesalahannya itu, bukan sambutan
terhadap paham yang pernah dianutnya. Melalui novel Kubah, Ahmad Tohari memberikan pelajaran pada pembaca untuk bisa
memahami dan memberi maaf terhadap pribadi yang telah menyadari kesalahan atau
ketersesatannya untuk mendapatkan kembali harkat kemanusiaanya. Di sisi lain
novel ini juga memberikan pelajaran bahwa pribadi yang bersangkutan juga harus
dapat membuktikan kesadarannya bahwa ia telah berubah dan kembali ke jalan yang
benar. Hal ini oleh Ahmad Tohari ditunjukkan dengan keberanian tokoh Karman
meminta bagian untuk ikut membangun masjid milik Haji Bakir yang sudah rapuh
dengan menyanggupinya membuat kubah yang baru. Kesanggupan Karman didasari
pengalamannya belajar mematri dan mengelas ketika berada di pengasingan.
Tetapi Karman menganggap pekerjaan
membuat kubah itu sebagai kesempatn yang
istimewa. Sesen pun ia tak mengharapkan upah.Bahkan dengan menyanggupi
pekerjaan itu ia hanya ingin memberi jasa. Bagaimana juga sepulang dari
pengasingan ia merasa ada yang hilang pada dirinya. Ia ingin memperoleh kembali
bagian hilang itu. Bila ia dapat memberi
sebuah kubah yang bagus kepada orang-orang Pagetan, ia berharap akan memperoleh
apa yang hilang itu. Atau setidaknya Karman bisa membuktikan bahwa dari seorang
bekas tahanan politik seperti dia masih dapat diharapkan sesuatu. (Kubah, 1995
: 188).
.................................................................................................................
“Luar biasa bagusnya,” kata seseorang
ketika kubah masjid hasil kerja Karman selesai dipasang menjadi puncak bangunan
masjid.
“Beruntung, “ sambung yang lain,
“kita mendapatkan Karman kembali. Kalu tidak, niscaya kita tidak bisa
bersembahyang di dalam masjid sebagus ini.”
Karman mendengengar puji-pujian itu.
Rasanya dia yakin bahwa dirinya tidak berhak menerima semua pujian itu. Tetapi
wajah orang-oang Pagetan yang berhias senyum, sikap mereka yang makin ramah,
membuata Karman merasa sangat bahagia. Karman sudah melihat jalan kembali
menuju kebersamaan dan kesetaraan dalam pergaulan yang hingga hari-hari kemarin
terasa mengucilkan dirinya. Oh, kubah yang sederhana itu! Dalam kbisuannya,
mahkota masjid itu terasa terus mengumandangkan janji akan memberikan harga
asasi kepada setiap manusia yang sadar akan kemanusiaanya. Dan Karman merasa
tidak terkecuali (Kubah, 1995 : 199).